Jakarta – Perlawanan Pangeran Diponegoro saat berperang di masa penjajahan membuat Belanda kewalahan. Tenaga dan logistik mereka terkuras habis melawan putra sulung Hamengkubuwono III itu beserta pasukannya.

Belanda memutar otak bagaimana caranya menaklukan dan menangkap Diponegoro. Tak kehabisan akal, mereka lantas merekrut para ahli budaya Jawa untuk mengetahui kelemahan Diponegoro.

“Para ahli budaya kemudian menyarankan diadakannya perundingan dengan Pangeran Diponegoro,” kata Saleh dalam diskusi terkait buku yang ia tulis ‘Strategi Menjinakkan Diponegoro’, di Freedom Institute, Jl Proklamasi, Jakarta Pusat, Rabu (27/8/2015) malam.

Diponegoro sebagai orang yang besar di Jawa dianggap akan sungkan menolak jika diajak untuk berunding. Sekali dua kali, ajakan perundingan itu tak ditanggapi Diponegoro. Namun Belanda tak mudah menyerah.

“Diponegoro menolak. Tapi Belanda terus menawarkan perundingan sampai dia mengatakan ya. Akhirnya Diponegoro mengatakan ya. Pada saat itu Belanda merasa mereka sudah menang separuh saat Diponegoro mengiyakan ajakan berunding,” tutur Saleh.

Tempat perundingan disepakati di Magelang dipinggir sungai Bogowonto. Namun saat itu Diponegoro mensyaratkan bahwa dia tidak mau menyeberangi sungai Bogowonto sebanyak 2 kali.

Sungai Bogowonto merupakan satu dari dua sungai cukup besar di Jawa Tengah yang bermuara ke pantai selatan. Syarat Diponegoro sendiri masih menjadi misteri sampai sekarang.

“Di situlah Diponegoro ditangkap. Dari sumber yang saya teliti, tidak ada perundingan seperti diceritakan di buku-buku sejarah, hanya obrol-obrol biasa. Disiapkan kereta (oleh Belanda), Diponegoro lantas dibawa ke luar Magelang,” jelas Saleh. (Detik.Com 28 Agustus 2014)