Manyarejo, 11 Mei 2025.. Sebagai tindak lanjut dari hasil evaluasi Program Kebudayaan Terpadu Sangiran (PKTS) yang telah dilakukan sejak awal tahun 2025, Yayasan Arsari Djojohadikusumo (YAD) dan Yayasan Wadah Titian Harapan (Wadah) bekerjasama dengan Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) menyelenggarakan kegiatan kunjungan belajar pertanian ramah lingkungan, peternakan terpadu, dan konservasi di tiga desa di Jawa Tengah. Kegiatan ini berfokus pada konservasi lingkungan, sanitasi, peternakan, pertanian, dan perikanan. Sejumlah kegiatan persiapan telah dilakukan sejak 28 April hingga 8 Mei 2025, termasuk memilih 15 warga Desa Manyarejo sebagai peserta kunjungan belajar ke Desa Mriyan, Desa Pagerjurang, Boyolali dan Desa Mundu, Klaten, Jawa Tengah.
Memastikan PKTS Efektif dan Berdampak Nyata
Kunjungan belajar ini bertujuan memastikan bahwa pelaksanaan PKTS berjalan efektif dan berdampak nyata di masyarakat. Tiga bidang yang dinilai menjadi prioritas untuk ditindaklanjuti adalah sekolah lapangan terkait budidaya padi, konservasi lingkungan, dan pembangunan biodigester. Biodigester adalah sistem yang digunakan untuk mengubah limbah organik menjadi biogas.
Selain itu, kegiatan ini juga bertujuan memperkuat kapasitas masyarakat dalam mengelola ketiga bidang prioritas tersebut. Kunjungan belajar ini diharapkan tidak hanya menjadi sarana pembelajaran teknis, tetapi juga membuka ruang bagi peserta bertukar pengalaman, memperluas jaringan, serta menggali inspirasi dari para pelaku yang telah berpengalaman mengelola program serupa.
Adopsi Anggrek Endemik Merapi di Desa Mriyan
Lima belas peserta kunjungan belajar yang dipilih dari Desa Manyarejo dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok tani, kelompok peternakan dan kelompok konservasi.
Selanjutnya, kunjungan belajar yang berlangsung sehari pada 8 Mei 2025 itu, diawali dari Desa Mriyan, Boyolali. Di desa ini, peserta mengunjungi area konservasi yang dikelola kelompok Pakem. Di sini mereka mempelajari metode partisipatif dalam program konservasi lingkungan yang mencakup budidaya anggrek endemik serta sistem pertanian ramah lingkungan.
Salah satu hal yang menarik perhatian para peserta adalah metode budidaya anggrek endemik Merapi. Anggrek-anggrek ini dilestarikan dan dibudidayakan dengan pendekatan “adopsi,” di mana masyarakat atau pihak luar dapat berkontribusi dalam pelestariannya. Pendekatan ini menjadi contoh praktik baik dalam kegiatan konservasi dengan menggalakan keterlibatan masyarakat.
Selain itu, peserta juga diperkenalkan dengan upaya konservasi vegetatif oleh masyarakat Dusun Gumuk. Di pekarangan rumah mereka, masyarakat setempat menanam tanaman Multi-Purpose Tree Species (MPTS) atau jenis pohon yang memiliki berbagai kegunaan di luar hasil utamanya seperti buah atau kayu. Pohon-pohon ini juga memiliki fungsi ekologis dan sosial ekonomi lainnya. Salah satu contoh yang baik adalah tanaman kopi, karena secara ekologis, tanaman ini mendukung keanekaragaman hayati, mencegah erosi tanah, dan mengembalikan karbon ke dalam tanah. Secara sosial-ekonomi, budidaya kopi memberikan mata pencaharian dan pendapatan bagi komunitas mereka
Desa Pagerjurang, Memberdayakan Ekonomi dengan Alpukat
Lokasi kedua yang dikunjungi adalah Desa Pagerjurang. Di desa ini peserta mengikuti pelatihan teknik sambung pucuk alpukat dan mempelajari sistem pertanian hortikultura yang terintegrasi dengan kebijakan desa. Para peserta berkeliling meninjau kebun dan pekarangan warga yang ditanami alpukat. Mereka terlibat diskusi langsung dengan pemiliknya untuk mengetahui dan memahami proses budidaya, tantangan yang dihadapi, serta peluang pengembangan alpukat sebagai komoditas ekonomi lokal.
Setelah berkeliling, peserta berkesempatan mengikuti sesi diskusi teknis yang dipimpin Kepala Desa (Kades) Pagerjurang, Nur Amin. Kepala Desa memaparkan program kerja desa serta perkembangan berbagai inisiatif yang telah berjalan. Selain itu, Nur Amin juga menjelaskan kebijakan-kebijakan strategis yang diambil pemerintah desa dalam mendukung inisiatif warganya, khususnya di bidang pertanian dan pemberdayaan ekonomi berbasis sumber daya lokal. Paparan ini memberikan gambaran menyeluruh tentang arah pembangunan desa yang inklusif dan berbasis potensi nyata di lapangan.
Biogas dan Es Krim Susu dari Desa Mundu
Perjalanan berlanjut ke Desa Mundu, Klaten, di mana peserta disambut Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dan diperkenalkan dengan pemanfaatan limbah ternak untuk energi biogas serta pengelolaan hasil ternak menjadi produk bernilai tambah.
Di desa ini, peserta disambut suguhan berbagai makanan ringan khas desa dan minuman segar berupa susu pasteurisasi dan es krim susu. Hidangan lezat ini menciptakan kesan pertama yang ramah sekaligus menggugah semangat untuk mengenal lebih jauh potensi desa tersebut.
Peserta kunjungan belajar disambut secara resmi oleh Budiyanta, Kades Mundu. Kades memaparkan berbagai potensi unggulan desanya, terutama dalam pengelolaan energi mandiri dan sektor peternakan. Pendekatan Desa Mundu dalam mengembangkan potensi ekonomi dan sumber daya manusia mereka tidak hanya fokus pada ekonomi, tetapi juga mengedepankan keberlanjutan dan inovasi berbasis kearifan lokal.
Selanjutnya, para peserta diajak mengunjungi kandang sapi komunal kelompok Dungus, yang kebetulan sedang melakukan kegiatan pemerahan susu. Momen ini menjadi kesempatan langka bagi peserta menyaksikan dan berdiskusi secara langsung bagaimana proses pemeliharaan dan pemerahan sapi yang dilakukan dengan sistem terorganisasi, sekaligus memahami peran kelompok ternak dalam mendukung ekonomi desa.
Kemudian, peserta diajak mengunjungi rumah warga yang telah memanfaatkan limbah ternak sebagai sumber energi terbarukan melalui sistem biogas. Di lokasi ini, peserta melihat langsung dan berdiskusi mengenai bagaimana digester atau tanki penampungan limbah kotoran ternak untuk menghasilkan biogas yang bisa digunakan untuk menyalakan kompor dan lampu.
Tidak hanya itu, peserta juga diperkenalkan pada pemanfaatan hasil sampingan produk biogas berupa slurry sebagai pupuk cair untuk pertanian.
Akhirnya, rangkaian kegiatan kunjungan belajar ini berakhir di komunitas Pusur Institute. Pusur Institute menekankan penguatan ketahanan pangan melalui sistem pengelolaan gabah, beras, dan pertanian organik menggunakan pupuk serta pestisida alami. Di sini, para peserta disambut Kades Pundungan yang juga Ketua Pusur Institute, Danang. Dalam sambutannya, Kades menyampaikan bahwa kegiatan pertanian yang dijalankan di desanya merupakan bagian dari dukungan terhadap program ketahanan pangan yang dicanangkan pemerintah pusat. Selain itu, petani juga didorong memanfaatkan limbah ternak sebagai pupuk organik guna meningkatkan kesuburan tanah secara alami.
Dalam kesempatan yang sama, Sasongko, ketua kelompok tani, yang sudah berusia 70 tahun, juga turut menyampaikan tentang pentingnya pola makan sehat yang dimulai dari proses budidaya pangan itu sendiri. Ia menegaskan bahwa banyak penyakit saat ini muncul karena konsumsi makanan yang tercemar bahan kimia sintetis, sehingga budidaya ramah lingkungan menjadi salah satu solusi yang penting. Salah satu bentuk upaya yang dijalankan Sasongko dan kelompoknya adalah budidaya padi jenis Rojolele dengan sistem tanam legowo, menggunakan pupuk organik dan pestisida nabati. Ia juga menjelaskan bahwa sekarang proses pembuatan pupuk organik bisa dipercepat dengan penggunaan mikro organisme lokal (MOL), yang secara signifikan memangkas waktu fermentasi limbah ternak.
Kunjungan Belajar, Membuka Wawasan dan Inspirasi
DDari kunjungan belajar ini, peserta mendapatkan tambahan wawasan dan inspirasi, khususnya di bidang konservasi, pertanian maupun peternakan. Selain itu, mereka juga belajar teknik-teknik baru untuk meningkatkan nilai ekonomi dari berbagai hasil pertanian dan peternakan. Secara umum, kegiatan kunjungan belajar ini memberikan ruang bagi peserta berbagi pengalaman, memperluas jaringan dan meningkatkan pengetahuan.
In conclusion, this study visit offered a space for participants to share experiences, expand networks, and increase knowledge. Furthermore, YAD and Wadah, in collaboration with LPTP, plan to develop a series of programmes that focus on developing conservation, livestock and sustainable agricultural initiatives in Manyarejo Village.
Author: Tito Suryawan
