Nograhany Widhi K – detikNews

Jakarta – Peter Brian Ramsey Carey (66), seorang sejarawan asal Inggris, awalnya ingin meneliti dampak Revolusi Prancis di mancanegara. Saat itu satu nama Willem Daendels sudah terpikir. Di tengah-tengah, Peter malah berpaling dan ‘jatuh cinta’ pada Pangeran Diponegoro.

“Saya diberi tugas untuk membuat satu skripsi mengenai dampak dari Revolusi Prancis di Pulau Jawa. Awalnya saya mengambil Daendels. Dan saat saya sedang menyiapkan tentang Daendels, saya melihat sosok Diponegoro itu sangat menarik,” kata Peter.

Peter mengatakan hal itu usai peluncuran dan bedah buku “Strategi Menjinakkan Diponegoro” yang ditulis sejarawan Saleh As’ad Djamhari di Freedom Institute, Jalan Proklamasi 41, Jakarta Pusat, Rabu (27/8/2014) malam.

Daendels adalah gubernur jenderal era Napoleon yang bukan orang Prancis. Peter yang lahir di Yangoon, Myanmar, 30 April 1948 ini lantas memutuskan untuk meneliti dampak Revolusi Prancis terhadap kehidupan pribumi di Pulau Jawa.

“Kalau saya ambil Daendels itu hanya dari pihak Kolonial. Dan dia (Diponegoro) punya banyak segi, ada unsur mistis, ada unsur praktis, ada unsur blusukan, ada unsur sangat hebat dengan uang, ada unsur bisa bergaul dengan pesantren, bisa bergaul dengan Keraton, bisa bergaul dengan petani dan bisa negosiasi dengan Belanda. Jadi dia bisa hidup dengan 4 dunia,” jelas sejarawan lulusan Trinity College, Oxford, Inggris, juga Universitas Cornell, AS, yang juga adjunct professor Fakultas Ilmu Budaya UI ini.

Sejak tahun 1970-an, mulailah Carey meneliti Pangeran Diponegoro. Hingga tahun 2014 ini, Peter tetap setia pada ‘cintanya’ itu.

“Iya, tapi tidak semuanya 40 tahun. Saya harus cari nafkah untuk keluarga juga. Di Indonesia tidak ada minat untuk sejarah Indonesia jadi saya harus mengajar sejarah Eropa, sejarah Inggris, sejarah Prancis,” tuturnya.

Selama itu pula banyak karya yang ditulisnya tentang Diponegoro. Peter juga menjadi editor buku ‘Babad Diponegoro’ yang ditulis Yosodipuro II dari Keraton Surakarta/Solo dan pernah ditawarkan ke penerbit di Indonesia, namun tak ada satu pun yang berminat. Akhirnya ada penerbit Malaysia yang berminat menerbitkan dengan judul ‘Babad Diponegoro: An Account of the Outbreak of the Java War (1825-1830)”.

Master piece Peter dalam penelitian Diponegoro adalah “Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1985-1855” yang diterbitkan Kelompok Pustaka Gramedia (KPG).

“Saya 40 tahun meneliti Diponegoro untuk 1.170 halaman (naskah kopian otentik Babad Diponegoro-red). Saya seperti orang Jawa, alon-alon waton kelakon,” tutur suami dari Lina Suryati dan ayah dari William Marlyan (34) dan Thomas Julian Xavier (9) ini.

Penelitiannya tak berhenti sampai di Diponegoro. Peter kini sedang meneliti kehidupan di era Majapahit merujuk kepada kitab “Negarakertagama” karangan Mpu Prapanca yang juga sudah diakui UNESCO.

“Saya hanya merujuk pada Mpu Prapanca, bagaimana Negarakertagama bisa dipakai sebagai pedoman, untuk bisa melihat bagaimana situasi di Keraton, Majapahit,” tuturnya sambil tersenyum. (Detik.Com 28 Agustus 2014)