Ketika mengunjungi taman itu pada Sabtu dan Minggu (7-8 Desember), nyaris di setiap sudut mudah ditemukan penjaja makanan dan cendera mata. Bahkan, pedagang itu menggelar dagangan tepat di samping pagar kandang satwa.

Selain berdagang di kios-kios yang telah disediakan, banyak pedagang menggelar dagangan di jalur pejalan kaki dan bangku-bangku bercat hijau yang telah diberi nomor.

Tak semua pedagang di dalam Taman Margasatwa Ragunan (TMR) berjualan melalui jalur resmi. Siti Zaenab, salah satu pedagang makanan kecil, menuturkan, mereka membayar kepada oknum petugas agar dapat berdagang di dalam kawasan TMR.

”Kalau seperti saya, memiliki kartu anggota. Selain itu, kami masih harus membayar lagi Rp 10.000 untuk hari Sabtu dan Rp 15.000 untuk hari Minggu kepada pihak pengelola. Di luar kedua hari itu, kami tidak bisa jualan kecuali tanggal merah dan musim liburan,” ujar Zaenab yang menggelar dagangan di bawah pohon.

Para pedagang itu juga harus membayar uang kebersihan Rp 4.000 yang diberikan kepada petugas loket. ”Saya hanya diperbolehkan jualan pada Sabtu dan Minggu,” ujar seorang pedagang sandal anak-anak.

Pengawasan buruk

Kondisi itu jauh berbeda jika dibandingkan dengan taman margasatwa lain di kota besar dunia, seperti di Australian Zoo. Taman margasatwa yang berada di Brisbane, Australia, itu memisahkan secara ketat kawasan yang dihuni satwa dengan pusat penjualan cendera mata dan restoran.

Pengunjung pun dilarang keras memberi makanan kepada satwa kecuali kepada satwa yang memang telah disiapkan untuk berhubungan dengan pengunjung. Makanan yang boleh diberikan pun telah disiapkan petugas dan selalu ada petugas yang mendampingi.

Di Ragunan, pengunjung dengan mudah memberi makanan kepada satwa, sebagaimana terlihat di kandang orangutan asal Kalimantan. Meski ada larangan memberi makanan, pengunjung tidak mengindahkannya.

Buruknya pengelolaan taman margasatwa itu juga tampak pada kondisi kandang dan sarana yang dimiliki. Pusat Primata Schmutzer (PPS) yang menjadi salah satu primadona saat ini kondisinya mengenaskan.

Fasilitas air keran yang sehat dan bersih serta langsung minum telah rusak. Fasilitas itu kotor tak terurus. Lorong khusus yang didesain seperti lorong goa yang bercabang-cabang di tengah hutan hujan tropis untuk melihat dari dekat kehidupan alami orangutan juga tak terawat baik. Lapisan plastik lantai yang sengaja didesain empuk itu banyak yang telah terkelupas dan sobek. Tidak semua penyejuk ruangan berfungsi baik.

Kaca film yang melapisi kaca pembatas antara pengunjung dan orangutan banyak yang terkelupas. Coretan-coretan memenuhi bangku tempat pengunjung beristirahat sembari melihat orangutan. Hewan liar pun mudah ditemui di kawasan PPS, bahkan pada siang hari. Kucing liar tampak berkeliaran di kandang orangutan.

Koordinator Perlindungan Satwa Liar Femke den Haas prihatin dengan kondisi itu. Wahana tersebut dibangun dan didedikasikan untuk mengedukasi warga tentang primata, khususnya orangutan.

Di area PPS juga tinggal tiga gorila. Semua berkelamin jantan. Mereka tinggal dalam satu area. Sebelumnya, area itu ditinggali empat gorila, tetapi gorila termuda tewas oleh pejantan lain.

Menurut Femke, keempat gorila itu berasal dari kebun binatang Inggris. ”Melihat kondisi kandang dan perawatan, kemungkinan besar mereka tidak akan mengirimkan gorila betina,” ujarnya.

Kematian beberapa satwa langka seperti orangutan, entah karena kecelakaan atau sakit, juga menjadi pertimbangan. Menurut dia, kelahiran primata di Ragunan menjadi sia-sia jika pengelolaan dan perawatan buruk.

Ahli lingkungan dari Universitas Indonesia, Tarsoen Waryono, berpendapat, TMR perlu diperluas dan dilengkapi dengan sistem canggih. Gunanya untuk mengawasi keseharian satwa, perawat, dan pengunjung. Perlu ada jaringan kamera berteknologi tinggi dengan ruang kontrol khusus yang dijaga secara bergiliran 24 jam.

Tarsoen, yang juga Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Geografi FMIPA UI, menambahkan, dalam mengelola Ragunan, selain dibutuhkan orang yang memiliki latar belakang ilmu terkait satwa serta kesehatan dan perawatan satwa, mereka yang bekerja di Ragunan seharusnya juga memiliki pemahaman tentang bagaimana seharusnya satwa hidup di habitatnya secara natural. Kondisi tempat tinggal satwa pun harus didesain secara natural meskipun sebagian dari koleksi satwa ditempatkan di lokasi yang bisa dilihat pengunjung.

”Hewan kalau sudah stres mungkin lebih susah pulihnya daripada manusia. Jadi, tidak bisa kandang satwa dekat dengan panggung dangdut atau dari tempatnya suara-suara keras yang tidak natural bisa terdengar jelas. Ini hanya salah satu hal kecil yang harus dipahami pengelola,” ujarnya.

Bambang Wahyudi dari Bagian Humas TMR, pekan lalu, mengatakan, pihak TMR tengah memperbaiki pengelolaan taman margasatwa itu. Terkait kios makanan yang ada di area TMR, menurut Bambang, itu dikelola koperasi. Namun, terkait pedagang lain serta kerja sama dengan pihak ketiga, ia mengaku tidak tahu. Ia juga mengaku tidak tahu berapa jumlah dana yang dihimpun dari kegiatan itu. Ia pun mengaku tidak mengetahui ke mana aliran dana itu mengalir.

Menurut Inspektorat Provinsi DKI Jakarta, pada tahun anggaran 2012, Ragunan menerima kucuran anggaran dari APBD sebesar Rp 56,2 miliar. Anggaran itu untuk gaji pegawai Rp 122 juta, belanja barang dan jasa Rp 37,44 miliar, serta belanja modal Rp 18,66 miliar.

Anggaran untuk pakan satwa terdapat pada alokasi belanja barang dan jasa sebesar Rp 10,5 miliar. Anggaran pakan yang terserap Rp 9,2 miliar. Dana itu, antara lain, digunakan untuk daging dan binatang hidup Rp 3,81 miliar, sayur dan buah-buahan Rp 3,88 miliar, serta pakan kering dan tambahan pakan lain sebesar Rp 1,53 miliar. (WER/NEL/NDY/JOS)- Kompas.com 9 Desember 2013