5 Tahun Bali Internship Field School for Subak Keseimbangan antara Manusia, Alam, dan Pencipta

5 Tahun Bali Internship Field School for Subak Keseimbangan antara Manusia, Alam, dan Pencipta

Dikenal dalam keterlibatannya di bidang pelestarian budaya melalui Yayasan Arsari Djojohadikusumo (YAD) dan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), Hashim Djojohadikusumo adalah sosok yang ternama dalam dunia pelestarian. Kepeduliannya di bidang ini semakin ditunjukkan dalam pernyataannya bahwa salah satu pilar pelestarian di samping budaya adalah lingkungan. Di tahun 2013, Catrini Pratihari Kubontubuh, Direktur Eksekutif YAD, menggunakan kesempatan berbicara di Universitas Kyoto, Jepang, untuk memberikan pidato mengenai isu pelestarian dalam lingkungan ini.

Pelestarian yang dimaksud adalah mengenai Subak, sebuah sistem pertanian berbasis sosial di Bali yang telah diakui sebagai Warisan Budaya oleh UNESCO. Subak telah dipraktekkan selama lebih dari 700 tahun dan memiliki akar budaya dan spiritual mendalam bagi masyarakat Bali, khususnya dalam konsep keseimbangan antara manusia, alam dan sang Pencipta. Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini, Subak mulai menghadapi penurunan dan tantangan dalam pelestariannya, dengan ancaman-ancamana seperti pariwisata yang berkembang pesat sampai bencana alam.

Pada September 2019, Bali Internship Field School for Subak (BIFSS) yang kelima diadakan kembali sebagai bagian dari proyek untuk memastikan kesadaran akan pelestarian tradisi yang penting ini. Pertama diselenggarakan oleh BPPI dan Design School, Kyoto University, dengan dukungan Kabupaten Gianyar, BIFSS adalah sekolah lapangan di mana akademisi maupun praktisi pusaka dari berbagai latar belakang hadir dan mengamati Subak secara langsung. Hashim Djojohadikusumo mendukung kegiatan ini, khususnya mempertimbangkan visi salah satu villa keluarganya di Desa Nyuh Kuning yakni Rumah Panchoran, untuk menjadi tempat bertemunya upaya-upaya pelestarian budaya. Rumah Panchoran telah menjadi salah satu lokasi tetap BIFSS sejak dimulainya kegiatan ini.

Pertama kali diadakan di tahun 2015 di Gianyar, Bali, dan dihadiri oleh para peserta dari Universitas Kyoto dari berbagai disiplin ilmu, dan juga profesional serta pelajar dari Indonesia, BIFSS telah mematik banyak perkembangan terkait pelestarian Subak. Rekomendasi Gianyar akan Pelestarian Subak, yang dibacakan saat World Culture Forum di Gianyar pada 10 Oktober 2016, proposal untuk desain pameran Museum Subak di Gianyar pada tahun 2017 yang bertujuan memancing respon emosional dari pengunjung, dialog bersama para petani yang baru saja tertimpa bencana alam dan juga pemerintah mengenai ketahanan Subak dan rencana cadangan dalam menghadapi bencana, merupakan beberapa dari hasil-hasil dari empat tahun berlangsungnya BIFSS.

Di tahun kelimanya, BIFSS akan berpindah fokus ke Kabupaten Karangasem. Hal ini khususnya karena mulai tahun 2019, Karangasem telah diakui sebagai anggota Organization of World Heritage Cities (OWHC), forum dunia yang terdiri dari kota-kota di mana terdapat situs-situs yang termasuk di dalam Daftar Pusaka Dunia UNESCO. Karangasem merupakan kota keempat di Indonesia yang diakui, dan Subak sebagai salah satu pusaka di kabupaten tersebut adalah salah satu alasan pengakuan tersebut.

Ke depannya, BIFSS berharap untuk bisa mencapai kabupaten lainnya di Bali serta membawa bersamanya kesadaran akan pentingnya pelestarian subak dan pusaka saujana pada umumnya, serta tantangan-tantangan yang dihadapinya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *