Dalam rangka Dies Natalis Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) ke-67, FEB UI bekerjasama dengan Yayasan Arsari Djojohadikusumo (YAD) mengadakan acara bedah buku dan pameran foto sejumlah tokoh penting FEB UI, terutama Sumitro Djojohadikusumo yang dikenal sebagai salah satu pendiri dan dekan pertama FEB UI (1951-1957).
Dalam acara bedah buku yang diselenggarakan di Auditorium FEB UI pada 18 september 2017 tersebut dibahas buku berjudul Nasionalisme, Sosialisme dan Pragmatisme, Pemikiran ekonomi Politik Sumitro Djojohadikusumo karya M. Dawam Rahardjo. Tidak kurang 400 peserta hadir meramaikan acara bedah buku tersebut termasuk sejumlah tokoh dan guru besar Fakultas Eknomi UI, mahasiswa dan tokoh lainnya dari luar FEB UI. Sayang sekali M. Dawam Rahardjo, penulis buku tersebut tidak bisa hadir karena sakit. Sebagai pembicara kunci hadir Prabowo Subianto, putra ketiga Sumitro Djojohadikusumo. Pembahas adalah Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dan Faisal Basri, SE. MA serta moderator Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto.
Di antara guru besar FEB UI yang hadir adalah Emil Salim, J.B. Sumarlin, Sudradjad Djiwandono, Miranda S. Goeltom, Rustam Didong, dan Ari Kuncoro (Dekan FEBUI).
Prabowo dalam pidatonya mengajak para profesor, tokoh eknomi dan akademisi untuk “turun gunung” dan bersatu membangun bangsa, tidak memandang ilmu ekonomi terpisah dari ilmu-ilmu lainnya seperti iptek, politik, sosial, budaya, militer dan agama.
Prof Dorodjatun mengatakan buku karya Dawam Rahardjo ini patut mendapat perhatian khusus. Menurutnya penulis buku ini berhasil menganalisis secara tajam pemikiran dan kebijakan ekonomi politik Sumitro yang masih relevan dengan masa kini. Lebih jauh, Prof. Dorodjatun mengatakan bahwa buku penting ini menjadi pelengkap dari karya Hendra Esmara (alm) berjudul Jejak Perlawanan Begawan Pejuang Sumitro Djojohadikusumo yang diterbitkan Sinar Harapan tahun 2000 lalu. Kalau buku Hendara Esmara berbicara tentang sosok Sumitro Djojohadikusumo, buku Dawam Rahardjo berbicara tentang pemikiran ekonominya.
Sementara itu Faisal Basri membicarakan pengalaman pribadinya saat mengikuti kuliah Studi Pembangunan yang diasuh oleh Prof. Sumitro Djojohadikusumo, Prof. Sadli dan Prof. Arsyad Anwar. Faisal mengakui banyak pemikiran prof. Sumitro yang masih relevan sampai sekarang, antara lain: tidak ada jalan pintas atau melompat dalam pembangunan; menjadi ekonom harus berwawasan luas dan memiliki landasan filosofi, menguasai teori dengan baik dan keberpihakan; dan ilmu baru bermakna jika bisa menjawab tantangan nyata yang dihadapi bangsa. Setiap langkah kebijakan harus berdasarkan analisis kredibel, bukan coba-coba.