Memaknai Sejarah dan Sosiokultural Magetan dari Riwayat Raden Ronggo Prawirodirjo III
Magetan, 25 Agustus 2023—Yayasan Arsari Djojohadikusumo (YAD) bersama KPG Gramedia dan Pemkab Magetan meluncurkan Buku Trilogi Madiun Raya: Benteng Terakhir Kasultanan Yogyakarta. Buku ini merupakan narasi sejarah Indonesia, khusunya Madiun Raya yang kerap diidentikkan dengan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1948. Padahal, jauh sebelum pemberontakan PKI, ada berbagai peristiwa yang lebih menonjol dan memiliki dampak besar. Madiun Raya menjadi salah satu episentrum perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme Belanda pada abad ke-19.
Begitu kentalnya narasi tentang peristiwa 1948 itu memantik keprihatinan sejumlah tokoh kelahiran Madiun Raya. Maka, muncullah inisiatif untuk menyusun sejarah seputar eks- Keresidenan Madiun dalam trilogi.
Inisatif ini mulai diwujudkan pada 2020 berkat dukungan berbagai pihak. Pada Oktober 2021, terbit dua buku. Pertama, Antara Lawu dan Wilis: Arkeologi, Sejarah, dan Legenda Madiun Raya Berdasarkan Catatan Lucien Adam (Residen Madiun 1934–38). Buku ini merupakan terjemahan atas lima artikel berbahasa Belanda karya Lucien Adam. Empat artikel mengungkap sejarah modern awal Madiun Raya (abad ke-16 hingga 19). Sementara satu artikel membahas periode klasik (Hindu-Buddha).
Dalam buku ini, pembaca dapat merasakan transisi menuju Islam, pertumbuhan wilayah perdikan yang membawa pusat-pusat studi Islam terkemuka, hingga pengaruh Perang Jawa (1825–1830) di kawasan ini. Buku ini memberikan pandangan Eropa yang tak hanya menganalisis, tetapi juga memahami ciri khas Madiun Raya.
Antara Lawu dan Wilis dilengkapi dengan dua karya penulis lain, yaitu tulisan Fokko Fokkens Sr (1852–1922) dan Akhlis Syamsal Qomar, sejarawan muda Madiun. Fokkens Sr membahas Pesantren Perdikan Tegalsari (Ponorogo) yang dirujuk Adam untuk menerangkan pengasingan diri Pakubuwono II (1711–49; bertakhta 1726–49). Sementara Akhlis menulis tentang Pesantren Perdikan Banjarsari (Madiun), melengkapi pemahaman kita tentang desa-desa perdikan di Madiun Raya.
Buku kedua berjudul Kisah Brang Wétan: Berdasarkan Babad Alit dan Babadé Nagara Patjitan. Menyajikan dua babad lokal yang merangkum sejarah beragam wilayah, termasuk Madiun Raya. Dua babad itu adalah Babad Alit (1911) dan Babadé Nagara Patjitan (1924).
Dari hasil penelusuran, kedua babad tersebut ternyata belum banyak dikenal. Dalam berbagai tulisan yang mengulas sejarah Jawa Timur—terutama wilayah Ponorogo dan Pacitan—kedua babad itu hanya pernah dirujuk secara mendalam oleh sejarawan ahli Madiun, Ong Hok Ham (1933–2007).
Ong menggunakan kedua babad itu sebagai bahan disertasinya di Universitas Yale pada 1975, yang diterbitkan dalam versi Indonesia pada 2018. Sebelum sempat dibaca banyak orang, kedua babad itu telah berpindah ke luar negeri, menjadi bagian dari koleksi Universiteitsbibliotheek di Leiden, Belanda.
Dalam Kisah Brang Wétan, tema-tema kontestasi kekuasaan, dinamika religi, serta tokoh-tokoh penting di kawasan ini dijelaskan melalui perspektif pujangga lokal. Sumber ini diperkuat dengan laporan perjalanan kapal Belanda, Pollux, untuk membandingkan kebenaran informasi dari sumber-sumber tradisional.
Pemungkas Trilogi
Banteng Terakhir Kesultanan Yogyakarta: Riwayat Raden Ronggo Prawirodirjo III dari Madiun, sekitar 1779–1810 (KPG, Agustus 2022) menjadi pemungkas Trilogi Madiun Raya. Buku ini mengeksplorasi sosok Raden Ronggo Prawirodirjo III (sekitar 1779–1810), Bupati Wedana Mancanegara Timur di bawah Kesultanan Yogyakarta (1796–1810).
Raden Ronggo, yang hidup pada periode kacaunya struktur kolonial di Pulau Jawa, menjadi tokoh penting yang memainkan peran besar sebelum runtuhnya masa tatanan lama setelah Perang Jawa (1825–1830). Secara tidak langsung, dia bisa dikatakan mengantar lahirnya tatanan baru di Jawa.
Ketika administrasi Belanda-Prancis di bawah Marsekal Herman Willem Daendels (menjabat Gubernur Jenderal 1808–10) mulai berlaku di Jawa, Raden Ronggo bereaksi dengan melawan dominasi Eropa yang telah berubah dari dominasi ekonomi ke dominasi politik. Salah satu konsekuensi perubahan corak dominasi itu adalah terkikisnya tatanan sosio-kultural Jawa.
Terkikisnya tatanan sosio-kultural itulah yang dilawan Raden Ronggo pada 20 November–17 Desember 1810. Perlawanan sang Bupati Wedana Mancanegara Timur yang berumur pendek itu kelak menjadi teladan bagi perlawanan tokoh terkemuka abad ke-19, Pangeran Diponegoro.
Dalam babad autobiografinya, Pangeran Diponegoro menyebut bahwa “saicale Raden Rongga/ nenggih nagri Ngyayogya/ wus tan ana banthengipun [setelah lenyapnya Raden Ronggo, sebetulnya Kerajaan Yogyakarta sudah tak punya lagi seorang pelaga]”.
Dalam buku ini, Akhlis Syamsal Qomar menggunakan sumber-sumber Eropa dan Jawa untuk menggambarkan perlawanan Raden Ronggo. Suatu perlawanan yang memberikan pengaruh penting dalam perjalanan sejarah dan kultural kawasan Madiun Raya.
Makna Trilogi
Tiga buku dalam trilogi ini terlihat memiliki tema yang berdiri sendiri-sendiri. Namun sebenarnya ia memiliki benang merah yang mengikat, yakni tekad untuk memahami dan mengungkap sejarah Madiun Raya secara lebih mendalam.
Buku pertama, yang berfokus pada pandangan Eropa, memberi gambaran tentang karakteristik wilayah ini. Buku kedua, yang mengangkat perspektif lokal melalui babad, memberikan pemahaman mendalam bagi penduduk lokal. Sementara, buku ketiga menghadirkan profil tokoh penting yang melawan dominasi Eropa.
Trilogi Madiun Raya bukan sekadar kumpulan informasi, melainkan juga langkah awal dalam mewujudkan penulisan sejarah yang lebih kaya dan beragam. Dengan pendekatan metodis yang diterapkan dalam trilogi ini, diharapkan muncul semangat untuk lebih mendalami sejarah lokal dan menghargai warisan budaya Madiun Raya.***